Kisah Sukses - Kisah yang satu ini memang sangat mengejutkan, berawal dari kekurangan seseorang bisa menjadi kesuksesan. Semua
itu berkat rezeki sang anak: Sony Kurniawan atau yang beken dengan nama
Sony Wakwaw, bintang sinetron berusia 11 tahun, putra kedua Sawiyah,
buah pernikahannya dengan Zakaria.
Saat Liputan6.com bertandang ke rumahnya, Sony Wakwaw sedang lelap
tidur. Syuting sinetron kejar tayang sampai larut malam membuat bocah
itu bekerja hingga lewat tengah malam.
Wakwaw baru pulang syuting sinetron 'Emak Ijah Pengen ke Mekah' pukul 01.00 dini hari.
Sawiyah tampak sumringah hari itu. Meski mengaku sedih meninggalkan
rumah lamanya, "Tetangga di sini baik-baik," kata wanita asal Cibinong,
Jawa Barat itu.
Rumah lama yang ditinggali keluarga Sony Wakwaw memang jauh dari layak.
Bangunan seadanya itu berdiri di sepetak tanah di bawah pepohonan
rindang di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Disusun dari kayu-kayu
dan triplek yang tak seragam ukurannya, tak beraturan.
Di bagian lain, plastik dari bekas karung atau terpal menjadi pengganti
dinding. Beratapkan asbes dan terpal sebagai pelindung dari hujan dan
terik matahari.
Di samping rumah terdapat karung-karung berisi sampah plastik yang sudah
dipilah. Di bagian lain ada bungkusan yang dikerubungi lalat. Entah apa
isinya.
Sawiyah, Zakaria, serta tiga anak mereka -- Sony punya seorang kakak
yang masih SMA dan seorang adik -- sudah tujuh tahun tinggal di rumah
itu. Kepada pemilik tanah, Zakaria menyewa tanah lalu membangun rumah
dari nol untuk ia tinggali sekeluarga. "Awalnya satu kamar, lalu
lama-lama bertambah," kata Sawiyah. Harga sewa per bulan tujuh tahun
lalu Rp 150 ribu. Tahun ini harganya sudah naik jadi Rp 400 ribu per
bulan.
Meski masih menghuni rumah itu, berkat Sony, terlihat perbedaan mencolok
pada keluarganya. Ada sepeda motor baru jenis Honda Blade R tipe Repsol
berdiri di depan rumah Sony. Harga motor itu sekitar Rp 16 juta.
Sehari-hari dipakai sang ayah.
Suasana Rumah Baru
Pagi hari itu persiapan kepindahan ke rumah baru sudah nyaris rampung.
Berbagai barang sudah siap diangkut. Baju-baju sudah dikelompokkan dalam
buntelan-buntelan kain.
Sony pindah rumah rupanya juga momen berharga bagi media. Tak kurang
selusin infotainment--dari berbagai stasiun TV, bukan hanya dari SCTV
yang menayangkan sinetron yang dibintangi Sony—ikut mengabadikan
kepindahannya.
Sekitar pukul 10.00 WIB Sony terbangun dari tidurnya. Sawiyah
menyuruhnya mandi. Selesai mandi, bocah yang dikenal dengan topi
merahnya itu tampak bersemangat membantu proses pindahan. Ia ikut
mengangkut barang-barang dengan sepedanya ataupun menaikkan ke mobil bak
terbuka.
Rumah baru keluarga Sony Wakwaw tak jauh dari rumah lama. Jaraknya
sekitar 200 meter, beralamat di kelurahan Harja Mukti, Cimanggis, Depok.
Rumahnya bercat biru, lantai keramik putih. Berpagar.
Status rumah itu bukan hak milik. Keluarga Sony mengontrak. Harga sewanya Rp 9 juta per tahun.
Rumah itu terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu,
dan dapur. Tak banyak barang yang dipindahkan ke rumah baru. Rupanya, di
rumah itu sudah terisi furnitur dan barang-barang baru.
Ada kulkas, kasur, mesin cuci, meja makan, sofa, dan lemari. Semuanya
baru. Dibeli dari hasil keringat anak kedua mereka yang bermata juling,
ti
Saat Kecil Sony Wakwaw Sakit-sakitan
Bagaimana Sony Wakwaw mengubah nasib keluarganya?
Kisah Sony Wakwaw menjadi tenar adalah kisah klasik “from zero to hero”,
yakni mereka yang bukan siapa-siapa, bahkan hidup terpuruk dalam
kemiskinan, mendadak berubah nasibnya, menjadi tenar dan kaya raya. Di
jagat budaya pop kita, mereka kerap memiliki keterbatasan fisik. Wajah
mereka jauh dari rupawan seperti umumnya seleb. Sebutan generik bagi
mereka, “muka kampung rezeki kota,” sebuah ungkapan yang disematkan pada
mendiang Benyamin S, artis Betawi serba bisa.
Hidup Sony sudah didera cobaan sejak masih bayi. Saat itu ia sering kali
demam dan suhu tubuhnya tinggi. Berobat ke dokter, penyakit si Wakwa
sembuh. Namun dampak lainnya yakni mata, berat badan, kemampuan bicara,
dan daya tangkap Sony menjadi tidak seperti teman-teman sebayanya.
Lantaran hal itu, Sony tak naik kelas beberapa kali. Ia baru naik kelas 2
SD setelah tiga kali tinggal kelas. Orangtua memutuskan tak lagi
menyekolahkan putranya tersebut.
"Kami berusaha memasukkan ke sekolah lain, tapi Sony menolak. Dia tidak
sanggup mendapat hinaan dari teman-temannya," kata Sawiyah lirih.
Sony kemudian menyibukkan diri membantu orangtuanya. Zakaria dan Sawiyah
sehari-hari hidup sebagai pemulung. Di luar mengumpulkan sampah
plastik, Sawiyah menambah penghasilan keluarga dengan jadi tukang cuci.
Zakaria kerja serabutan apa saja. "Sony juga dulu suka membantu saya
memulung. Dia rajin," Sawiyah memuji putranya.
Selain membantu orangtua, Sony juga jadi tukang parkir amatir di lokasi
syuting sinetron tak jauh dari rumahnya. Kawasan Cibubur dekat tempat ia
tinggal merupakan lokasi yang ramai dipakai syuting berbagai judul
sinetron. Cibubur terletak di pinggiran timur Jakarta. Daerah
perkampungan di Cibubur masih asri. Sangat pas untuk setting sinetron
masyarakat bawah pinggir kota.
Dari Tukang Parkir Jadi Pemain Sinetron
Salah satu judul sinetron yang syuting di kawasan dekat Cibubur adalah
Emak Ijah Pengen ke Mekah. Saban hari sinetron ini tayang di SCTV.
Karena proses kejar tayang alias stripping lokasi syuting selalu sibuk
oleh lalu lalang kendaraan kru dan pemain. Belum lagi penduduk sekitar
yang ingin menonton syuting.
Di luar kesibukan membantu orangtua memulung sampah atau
membersihkannya, Sony kerap mengunjungi lokasi syuting saban sore.
Awalnya cuma menonton, ia kemudian jadi tukang parkir. Melihat
kekurangan fisik Sony, yang punya mobil sebetulnya tak terlalu
mengandalkan arahannya. "Tapi mereka tetap memberinya uang," kata Emil
G. Hampp, sutradara Emak Ijah Pengen ke Mekah saat ditemui di lokasi
syuting Jumat (19/12/2014) pekan lalu.
Dua bulan jadi tukang parkir, Sony dekat dengan kru sinetron. "Akhirnya
dia bantu angkat-angkat (peralatan syuting)," bilang Emil.
Kemudian dia diajak main, sebagai figuran. "Awalnya jadi pengemis, lalu
jadi warga," cerita sutradara yang terjun ke film sejak 1980-an itu.
Sony menyita perhatian ketika peran figuran yang didapatnya lebih besar.
"Ada adegan pemulung mencuri tas Trio Ubur-ubur, dikejar, pas mau
balikin gerobak, muncul anak pemulung dan diberi dialog, ‘Bapak mana,
Bapak? Bapaakkk…'" urai Emil.
Dari situ kemudian jalan Sony jadi bintang sinetron terbuka. Ia lalu
diberi peran dan dialog lebih banyak. Selain kalimat mencari bapaknya,
Sony juga diberi ucapan salam yang khas“Wakwaw!”, semacam versi lain
“cilukba”. Dari situ namanya jadi Sony Wakwaw.
Jika sebelumnya honor jadi pemain figuran hanya Rp 50 ribu, kini sebagai
pemain tetap, Sony dibayar Rp 1 juta per episode. Artinya, jika syuting
nonstop 30 hari, dalam sebulan dia dapat uang Rp 30 juta. Itu di luar
honor acara offair, misal acara di mal atau pula dipanggil stasiun TV
mengisi acara lain. Untuk tampil di acara tahun baru, Sony ditawari
honor Rp 40 juta.
Selain uang, jerih payah Sony juga menghasilkan penghargaan dalam
bentuk lain. November kemarin, ia dianugerahi gelar Artis Cilik Paling
Ngetop di ajang SCTV Awards 2014
Sabtu, 04 April 2015
Kisah Sukses Sony Wakwaw
Diberdayakan oleh Blogger.